Peran Milenial Aceh Menghadapi Tantangan Era Revolusi Industri 4.0
Hari itu para wajah
para wisudawan dan wisudawati begitu bahagia, senyum terpancar jelas dari wajah
mereka. Setelah acara pengukuhan kelulusan rektor selesai, sambil mengenakan
pakaian toga mereka berfoto sembari melempar topi ke udara karena telah lulus
dari universitas. Kehadiran keluarga dan teman datang menyambut dan memberikan
selamat menambah rasa senang itu.
Akan tetapi keesokannya
dan hari-hari berikutnya suasana berubah, kegembiraan lulus dari kampus tidak
menjamin apapun. Karena persaingan baru yang berbeda baru saja dimulai. Ada
sebuah rimba besar yang sulit taklukkan dan rimba itu bernama lapangan
pekerjaan. Sudah pasti dunianya berbeda jauh dengan dunia kampus, dunia kerja
memberikan tantangan baru tak terduga-duga jarang didapatkan di bangku
perkuliahan.
Melamar
pekerjaan dihadapkan dengan berbagai persyaratan ketat, bermodal indeks nilai kumulatif
dari ijazah saja tidaklah cukup. Ada banyak keahlian lainnya yang diperlukan yang
dulunya tidak didapatkan di bangku perkuliahan. Ilmu seperti kemampuan
memecahkan masalah, bekerja di dalam tim sampai kemampuan melakukan komunikasi
dan adaptasi dengan rekan kerja barulah diketahui sesampai di dunia kerja.
Setiap tahunnya
angka pengangguran di Aceh terus meningkat dan tidak dibarengi dengan jumlah
lapangan pekerjaan. Menurut data Badan Pusat Statistik Aceh, jumlah
pengangguran di Aceh pada Februari 2018 mencapai 154 ribu orang. Angka ini meningkat
hampir 4 ribu orang dibandingkan Bulan Agustus 2017 atau enam bulan sebelumnya
yang masih ada di angka 150 ribu orang.
Kondisi pelik
ini melanda Aceh, ada banyak sarjana terdidik yang harus menganggur, lapangan
kerja yang sempit jadi salah satu faktor. Belum lagi kini telah memasuki Era Industri
4.0, ada banyak pekerjaan yang tergantikan dengan Artificial Intelligence
(kecerdasan buatan). Seakan makin banyak pekerjaan konvensional yang dulunya
begitu menjanjikan, harus hilang tergerus zaman.
Bahkan para
buruh harus mengambil keputusan besar pada pekerjaan yang ia geluti selama ini.
Semua itu dikarenakan banyak perusahaan yang mulai menggunakan AI sebagai ganti
tugas mereka. AI tak pernah menuntut gaji, membutuhkan asuransi, jaminan keselamatan
kerja hingga tunjangan lainnya seperti yang buruh lakukan.
Apalagi keterampilan
para buruh yang biasa-biasa di era saat mulai tergantikan dengan AI atau para
robot pabrik. Mereka para robot punya kelebihan seperti tak perlu waktu
istirahat, tak pernah menuntut, dan paling penting minim kesalahan.
Sesuatu yang
sulit dilakukan oleh para buruh atau kaum pekerja kelas bawah saat ini,
walaupun kecerdasan buatan atau robot lebih mahal. Namun pemilik usaha
menganggap cara ini lebih efisien dibandingkan menggaji para buruh sekaligus
bentuk investasi jangka panjang.
Saya mencoba
membawa sebuah cerita unik di masa era
industri pertama ada banyak pekerjaan aneh yang tidak terpikirkan oleh manusia
modern saat ini. Kota Paris saat sebelum Perang Dunia Kedua terjadi, ada
pekerjaan yang begitu digemari oleh pria paruh baya Kota Paris saat itu.
Pekerjaan menjadi Fire Lamp (pemadam lampu jalan) di setiap sudut Kota
Paris.
Tugasnya ialah
memadamkan lampu saat pagi tiba dan menyalakan lampu kala malam di setiap sudut
kota. Memang terdengar aneh untuk saat ini, namun saat itu begitu menjanjikan
hingga tahun 50-an sebelum lampu LED ditemukan. Pekerjaan itu musnah saat penemuan
lampu LED, manusia yang berharap mendapatkan penghasilan dari pekerjaan itu
harus gigit jari.
Itu juga
sekarang terjadi makin banyak pekerjaan serupa yang mengalami nasib yang sama
karena perubahan zaman. Pekerjaan yang saat ini mulai banyak tergantikan,
misalnya saja pekerjaan yang saat digemari seperti tukang parkir, agen
perjalanan hingga teller bank tergantikan di Industri 4.0 oleh kecerdasan
buatan serta teknologi lainnya. Bagi manusia yang sulit beradaptasi akan
menjadi korban kerasnya perubahan industri yang bisa mengancam pekerjaan
idamannya.
Zaman yang
merevolusi pekerjaan dan pola pikir manusia
“Zaman
berubah dengan cepat dan siapa saja yang tidak siap akan
perubahan
akan mati atau tertinggal”
Di era internet
saat ini semua hal terkoneksi dengan internet dan manusia ingin mengembangkan
era digital lebih ke arah berkembang. Mulai dari penerapan sistem Internet
of Things (IoT), on Demand Service, e-Commerce, dan Financial
Technology (Fintech).
Perkembangan
itu seakan membuat manusia harus berinovasi lebih cepat. Bila dahulunya ingin
memarkirkan kendaraan di lokasi parkir, dengan sigap ada tukang parkir yang
mengaturnya. Peluit dan rompi khusus parkir jadi modalnya bekerja. Namun kini
dengan kecerdasan buatan yang menggunakan konsep Internet of Things
(IoT) seakan menghilangkan pekerjaan abang-abang parkir. Terganti oleh sistem e-parking
yang terintegrasikan dengan AI saat masuk ke lokasi parkir.
Jasa tukang
ojek pengkolan yang duduk di pinggir pos, menunggu hampir setengah hari tanpa
mendapatkan satu penumpang pun. Lahirnya layanan on Demand Service
seakan melahirkan transportasi online yang memudahkan driver dan
penumpang. Baik itu fleksibel waktu dan tepat sasaran. Pihak pembuat layanan
bisa saling melakukan sharing economy dengan abang ojek dengan harga
terbaik.
Pemilik barang
yang tidak memiliki uang untuk membeli atau menyewakan toko fisik tak perlu
khawatir berdagang. Lahirlah sejumlah Marketplace yang mampu menyediakan lapak
dan layanan retail. Para UMKM dan konsumen dipertemukan di dalam satu wadah
besar bernama e-commerce dengan transaksi digital dari internet. Saling
menguntungkan dan pastinya tanpa harus mengeluarkan modal.
Terakhir ialah
revolusi mata uang dari yang dulunya berbentuk fisik menjadi ke arah digital.
Tujuannya untuk memudahkan pengguna dalam transaksi dan rasa aman. Pengguna tak
perlu takut lagi bepergian ke mana saja dengan uang banyak cukup dengan
menempelkan ponselnya pada Q-Barcode di tempat ia belanja. Konsep itulah
yang kini dikenal dengan Fintech yang lebih cashless.
Siapakah yang
mampu bertahan?
Nasib pekerjaan
manusia bisa terancam dari AI, robot pekerja, dan aplikasi yang serba praktis.
Manusia yang bertahan adalah manusia yang mau kreatif dan berinovasi serta mengikuti
arah zaman. Peran perkembangan teknologi sangat sulit dibendung oleh siapa pun,
cepat atau lambat akan merevolusi sebuah sistem dan manusia di dalamnya.
Manusia-manusia
yang paling tidak takut akan perubahan zaman adalah mereka yang kreatif. Model
manusia ini tidak akan takut akan segala perubahan zaman, pekerjaan yang ia
kerjakan akan selalu disesuaikan dengan fleksibilitas zaman. Tidak tertutup
kemungkinan manusia harus bertransformasi dalam bidang pekerjaan yang tidak
diprediksi sebelum.
Kreativitas dan
inovasi dituntut menjadi salah satu kewajiban. Saya mencontohkan saat era web booming,
Salah satu yang paling fenomenal adalah kemunculan mesin pencari salah satunya
Google, menghadirkan pekerjaan yang tidak disangka manusia. Itu semakin
berkembang dengan lahirnya era sosial media yang makin pesat hingga era Startup
seperti sekarang ini.
Mungkin 10
tahun yang lalu tidak ada yang mengenal pekerjaan terdengar aneh seperti Blogger,
Youtuber, Selebgram, Buzzer, atau bahkan Admin
sosial media. Itu semua lahir berkat revolusi pekerjaan manusia yang semakin
terintegrasi dengan teknologi. Mungkin saja di masa depan akan lebih banyak
lagi pekerjaan aneh yang tidak pernah didengar sebelumnya.
Kemampuan
khusus adalah salah satu cara bertahan hidup, maksud di sini yang membuat Anda
berbeda dari orang lain. Pekerjaan itu tidak bisa digantikan atau bahkan
tergerus oleh zaman sekalipun. Misalnya saja konten kreator atau penulis, pekerjaan
model ini akan tetap ada hingga akhir zaman.
Kecerdasan
buatan dan segala perubahan industri tidak akan bisa menggantikan sesuatu yang
unik dan berbeda. Namun ia bisa menggantikan apa saja yang biasa manusia
lakukan.
Ladang
pekerjaan yang terbatas di Aceh
Membahas
tentang iklim kerja di Aceh, tergambar
bagaimana lahan pekerjaan di Aceh sangat terbatas dalam hal industri, sentra
jasa, dan UMKM. Berbanding terbalik dengan jumlah perguruan dan jebolan yang
dihasilkan. Sedikitnya lahan pekerjaan bidang industri yang sesuai dengan
lulusan membuat banyak lulusan tidak terserap dengan baik.
Pilihannya
terbatas, bekerja di instansi pemerintah sebagai salah satunya. Seleksi tes
yang sulit dan butuh relasi yang baik jadi salah satu kunci bisa berada di sana.
Sedangkan anak muda yang terbatas kemampuan dan tidak mencukupi syarat harus
berpangku tangan melemparkan lamarannya.
Pilihan yang sempit
ini seakan menjadi alasan sejumlah lulusan terjun sebagai wirausaha. Modal yang
besar dan pengalaman yang minim sering sekali menghambat proses tersebut. Satu
sisi ini cukup baik, ada banyak anak muda yang mengambil cara tak bisa.
mengembangkan bisnisnya.
Meskipun begitu
para milenial Aceh mengambil cara lainnya dalam berkreasi dan berinovasi.
Pesatnya kemajuan digital jadi salah satu alasannya, mendorong anak muda
menghasilkan pundi-pundi uang dari dunia maya. Mencoba peruntungan baru
menghadapi era industri yang makin berkembang ke arah teknologi.
Aceh dan potensi
digital ekonomi yang menjanjikan
Meskipun
terletak di paling Barat Indonesia, Aceh punya penetrasi internet yang sangat
besar di daerah perkotaan. Kebutuhan internet dari para milenial seakan
menjadikan Aceh lahan basah penetrasi internet.
Salah satu
tempat yang disoroti adalah banyaknya kedai kopi, kebiasaan ngopi yang
besar masyarakat Aceh melahirkan berbagai kedai kopi dan cafe. Salah
satu menu wajib yang dihadirkan kedua usaha tersebut adalah koneksi internet
selain menu yang mereka tawarkan.
Ada banyak
kedai kopi yang bukan hanya menawarkan secangkir kopi dan kue timphan saja.
Ia menawarkan internet yang begitu ngebut. Anak milenial pun menjadikan
kedai kopi yang banyak tadi itu beraktivitas, segala aktivitasnya tadi terpenuh
di internet. Peran besar internet di Era Industri 4.0 seakan begitu besar, sehingga
ada banyak pekerjaan yang lahir dari situ.
Secara tak
langsung ada banyak aktivitas digital yang terjadi, bukan hanya sebatas sosial
media semata. Proses melibatkan berbagai pekerjaan digital bisa tertampung di
kedai kopi, dibandingkan suasana sepi di rumah atau terlalu formal di
perpustakaan. Kedai kopi jadi sebuah pilih aktivitas digital terjadi.
Tidak heran
banyak anak muda yang memulai bisnisnya tanpa kantor. Bermodal dari kedai kopi
mereka bisa bekerja. Pundi-pundi dolar mengalir deras melalui dompet digital
mereka. Pilihan sebagai konten kreator yang mampu menghasilkan begitu banyak
pemasukan. Tidak harus berpakaian rapi, mengejar waktu di pagi hari bergegas ke
kantor.
Siapa yang tak mengenal
pekerjaan kekinian yang digeluti para anak muda. Pekerjaan seperti Blogger, Selebgram,
atau Youtuber. Pekerjaan pendulang pundi-pundi dolar yang tak sedikit nilainya.
Itu semua bisa didapatkan saat sedang menyeruput segelas kopi.
Menilik bisnis menjanjikan
ala anak milenial di era digital
Ada sejumlah
bisnis yang milenial lihat saat ini, mereka punya cara pandang yang jauh
berbeda dengan mereka melihat internet lebih dari segalanya. Perannya sebagai
salah satu penyedia peluang kerja yang sangat besar.
Itu semua
didukung dengan penetrasi pengguna internet Indonesia yang sangat besar di Asia
Tenggara. Menurut data dari Databooks, ada sebanyak 132,7 jiwa atau mencapai
55% dari 265 juta pengguna internet di tanah air. Jumlah ini terus meningkat
dari tahun ke tahun dengan membaiknya jumlah khususnya penetrasi ke kota-kota
kecil.
Aceh termasuk di
dalamnya khususnya Kota Banda Aceh layak dianggap dengan kota dengan jumlah
pengguna internet terbesar di Aceh. Dukungan berbagai lokasi penyedia Wi-fi
gratis yang tersebar mulai dari kedai kopi, kampus, hingga balai desa seakan
memudahkan proses digital berlangsung.
Kemudian
ada sekitar 71 juta pengguna menggunakan perangkat pintar dalam mengakses
informasi dan sosial media. Mayoritasnya datang dari rentan usia yang sangat
muda yakni usia 13 tahun hingga 18 tahun yang hampir 75,5% pengguna internet di
tanah air serta golongan usia 19-34 tahun menyusul di bawahnya. Rentan usia ini
generasi milenial dan mereka menganggap koneksi internet bukan hanya sebatas
sosial media dan mendapatkan informasi, tetapi lahan pekerjaan yang
menjanjikan.
Ada
sejumlah pekerjaan yang dikembangkan para milenial dan peluang ini kini sedang
dirajut dengan sangat baik oleh anak-anak muda Aceh. Mereka punya cara berbeda
dalam sudut pandang mereka, kemampuannya dalam membaca pasar relatif berbeda
dengan generasi sebelumnya. Sadar bahwa ada banyak pekerjaan yang tergantikan
dengan kecerdasan buatan.
Anak muda sadar
ada sebuah potensi yang sangat sulit digantikan, yaitu kemampuan kreatif dan
inovatif menghasilkan karya. Dibandingkan harus nganggur tidak jelas
mereka memanfaatkan segala sumberdaya teknologi seperti gawai miliknya dan
koneksi internet untuk berbisnis.
Misalnya saja
di era digital ada banyak platform yang bisa menunjang dalam berkarya. Mungkin
saja menulis karya-karya terbaik di Blog, menghasilkan video di channel
Youtube, meramu nada-nada musik menjadi hal yang berharga hak patennya. Hingga
menjadi selegram dari foto-foto nge-hits yang kekinian di Instagram.
Itu hanya
sebagian kecil pekerjaan yang bisa
dipilih para milenial di era digital saat. Ada banyak pekerjaan lainnya yang
bisa dikembangkan. Apalagi pemerintah Indonesia sedang mempersiapkan diri
sebagai kekuatan ekonomi digital terbesar di Asia Tenggara di tahun 2020.
Pemerintah pun
kini sudah mempersiapkan berbagai hal dalam membangun fondasi ekonomi digital
yang baik. Sedikit ada empat fondasi yang sangat diperhatikan pemerintah:
seperti pembangunan infrastruktur telekomunikasi, penerapan konsep e-business,
memiliki e-commerce yang bersaing, dan peran besar UMKM lokal.
Memberdayakan
para pelaku UMKM Aceh ke arah digital
UMKM punya
peran penting ada hampir 60% dari sektor ekonomi rata-rata Produk Domestik
Bruto (PBD) tanah air berasal darinya. Di Indonesia saat ini ada sebanyak 58
juta UMKM di tanah air dan bila ekonomi mereka bisa berlipat ganda, ini akan
sangat baik buat ekonomi bangsa.
Salah satu cara
yang dilakukan pemerintah ialah
mendukung UMKM terjun di bisnis ekonomi digital. Untuk masalah produktivitas
dan kreativitas, UMKM sudah cukup andal di bidangnya. Kini tinggal bagaimana
membuat mereka masuk dalam industri e-commerce.
Menurut data
dari Dinas Perdagangan dan Perindustrian Aceh, pada tahun 2016 terdapat
sebanyak 75.207 UMKM di Aceh. Jumlahnya meningkat drastis dibandingkan dengan
dua tahun sebelumnya yang hanya 48.882 UMKM. Bisa dipastikan di tahun 2018
angka mencapai 100 ribu UMKM.
Angka
yang besar ini sebagian besar lahir dari para lulusan kampus ternama yang ada
di Aceh. Memulai usaha melalui UMKM dinilai menjanjikan sebagai salah satu cara
menghasilkan pundi-pundi penghasilan hingga mendapatkan pekerjaan yang layak.
UMKM
yang lahir semakin beragam ini hadir karena persaingan yang ketat seperti yang
ada di Banda Aceh. Variasi dan kreasi adalah buktinya, membangun UMKM bukan
sebuah pelarian tapi bentuk kreativitas yang dimanfaatkan milenial Aceh.
Bila dahulunya
hanya mengandalkan aplikasi chatting seperti Whatsapp dan Facebook. Kini
para pelaku UMKM beranjak ke konsep aplikasi pada e-commerce. Pastinya ini
seakan menghilangkan kesenjangan sosial yang ada serta memberikan kesempatan
UMKM mendapatkan tempat lebih di e-commerce, peran keduanya tidak bisa
dipisahkan.
Berkembangnya
pasar e-commerce seakan mendatangkan berbagai pekerjaan baru yang belum ada
sebelumnya. Mungkin dahulunya untuk memulai usaha dibutuhkan modal yang besar,
misalnya saja ingin berdagang diharuskan memiliki toko fisik, izin usaha,
hingga biaya lain yang begitu besar.
Kini dengan
adanya e-commerce, para pelaku usaha yang datang dari UMKM bisa merintis
kariernya dengan mudah. Mereka hanya cukup membuat akun untuk mempromosikan
barang dagangnya. Biayanya gratis kecuali bagi yang ingin membayar lapak
premium, meskipun begitu biaya relatif kecil dibandingkan dengan biaya yang
dikeluarkan dengan berdagang secara offline.
Dukungan pada penuh
e-commerce tanah air
Menjamurnya e-commerce
milik lokal membuktikan Indonesia sudah berbicara banyak di pasar e-commerce.
Saat ini ada sejumlah startup tanah air yang pendanaan hingga US$ 1 Miliar dan
sudah masuk dalam jajaran startup Unicorn.
Nama-nama tenar
seperti Go-Jek, Traveloka, Tokopedia, dan Bukalapak menghiasi pemberitaan dunia
akan dahsyatnya e-commerce milik anak negeri. Kini tinggal menunggu ada banyak
startup baru buatan anak muda Aceh yang siap bersaing dan mengisi lini digital
lainnya menggebrak.
Sudah pasti masyarakat yang diuntungkan dengan
pertumbuhan bisnis online yang begitu pesat. Masyarakat
Indonesia akan mendapatkan manfaat positif dalam perekonomian seperti
pertumbuhan kesejahteraan, pertumbuhan lapangan kerja baru dan lain-lain.
Indonesia tidak lagi sekadar menjadi target pasar bisnis internasional, tetapi
sebaliknya dapat menjadi pengusaha e-commerce yang mumpuni
hingga menjangkau pasar luar negeri.
Anak Aceh dan kreativitas
di dunia startup
Kata siapa
startup hanya ada di kota-kota besar di Indonesia?
Aceh pun tidak
mau kalah dalam berkreasi di dunia digital. Ada banyak startup khas Aceh yang
siap bersaing dan melawan gempuran keras startup mapan nasional. Mereka
menawarkan berbagai solusi yang ada di masyarakat dan punya potensi besar jadi
startup besar di masa depan.
Sebut saja ada startup
e-barang yang menawarkan konsep retail online dari berbagai kategori barang
dengan keamanan serta kenyaman buat pelanggannya. Kemudian ada startup member toko yang memberikan kemudahan para konsumen yang ingin berbelanja
berbagai produk dan lokasi promosi para pelaku usaha lokal.
Startup Visit
Aceh yang menawarkan berbagai lokasi wisata, penginapan, dam hotel yang ada di
Aceh. Memudahkan para wisatawan lokal dan mancanegara dalam merasa sensasi
liburan terbaik saat berkunjung ke Aceh. Hal yang hampir serupa yang diberikan
pada startup Traverious selaku penyedia jasa tour dalam dan luar negeri.
Beberapa waktu
yang lalu, Jurusan Statistika Universitas Syiah Kuala melaksanakan seminar sebagai rangkaian acara tahunan Jurusan Statistika yaitu "Statistics Explore" dengan tema: Pemuda dan
Peran Big Data dalam Menghadapi Era Revolusi Industri 4.0. Salah satu
pemateri yang kami undang sebagai pemateri adalah salah seorang anak muda
milenial bernama Aslan Saputra.
Aslan salah
anak muda kreatif yang berhasil merintis bisnis startup-nya bersama istrinya. Berbekal
kemampuan coding dan pemograman saat masih masa kuliah dahulu. Ia
berhasil merintis startup bernama Gumugu yang siap bersaing di Era Industri 4.0
dan Big Data.
Menawarkan layanan
web development, mobile development, visual branding, dan animasi film. Banyak
pihak yang sudah percaya dan menjadi klien dari startupnya, mulai dari Baitul
Mal Aceh, Elex Media Komputindo, Ikatan Dokter Indonesia, Unsyiah, hingga
Pertamina.
Anak-anak muda
Aceh pun tak perlu lagi kesulitan menyalurkan idenya, pelatihan di dunia
digital seperti startup dan Big Data sudah mulai ada. Salah satu pilihan itu
datang dari gedung serba guna bernama DiLo (Digital Innovation Lounge).
Konsep gedungnya
seperti coworking space yang menerima siapa saja belajar berbagai ilmu coding,
proses dan pendanaan startup hingga pengembangan aplikasi mobile
sehingga mampu bersaing di era digital.
Kini senyum ceria
anak muda Aceh merekah, mereka tidak perlu lagi takut tidak mendapatkan
pekerjaan. Bangun pagi pertama setelah hari wisuda bukan kenyataan buruk, mereka
sudah siap menentukan masa depannya. Merintis karier di dunia digital yang
menjanjikan tanpa harus berharap banyak bekerja di instansi pemerintah lagi.
Tulisan ini
diikutsertakan pada Lomba Menulis Artikel Gedung Bank Indonesia Provinsi Aceh.
Memperingati 100 tahun Gedung Bank Indonesia Provinsi Aceh.
3 komentar
terimakasih ya informasinya :)
BalasHapusada Tips menggunakan KJP nih, silahkan coba deh supaya kita lebih cerdas dalam menggunakan KJP nya, selamat mencoba yaa :)
Titanium Wood Stoves in Slant, Glaze - TITSALIAN ART
BalasHapus› wood-stoves › wood-stoves titanium bikes for sale In the damascus titanium first gold titanium of the series, he was able to find an easy-to-use, easy-to-use wood stove, designed by titanium bracelet Robert A. Brown can titanium rings be resized for all his work on a wood car.
ye832 replica bags,funhandbags.ru,replica YSL,replica CHANEL,replica CHANEL,fake bags,fake bags,replica CHANEL,chanelhandbagsale cn146
BalasHapus