­

Peran Milenial Aceh Menghadapi Tantangan Era Revolusi Industri 4.0

by - Januari 06, 2019



Hari itu para wajah para wisudawan dan wisudawati begitu bahagia, senyum terpancar jelas dari wajah mereka. Setelah acara pengukuhan kelulusan rektor selesai, sambil mengenakan pakaian toga mereka berfoto sembari melempar topi ke udara karena telah lulus dari universitas. Kehadiran keluarga dan teman datang menyambut dan memberikan selamat menambah rasa senang itu.

Akan tetapi keesokannya dan hari-hari berikutnya suasana berubah, kegembiraan lulus dari kampus tidak menjamin apapun. Karena persaingan baru yang berbeda baru saja dimulai. Ada sebuah rimba besar yang sulit taklukkan dan rimba itu bernama lapangan pekerjaan. Sudah pasti dunianya berbeda jauh dengan dunia kampus, dunia kerja memberikan tantangan baru tak terduga-duga jarang didapatkan di bangku perkuliahan.

Melamar pekerjaan dihadapkan dengan berbagai persyaratan ketat, bermodal indeks nilai kumulatif dari ijazah saja tidaklah cukup. Ada banyak keahlian lainnya yang diperlukan yang dulunya tidak didapatkan di bangku perkuliahan. Ilmu seperti kemampuan memecahkan masalah, bekerja di dalam tim sampai kemampuan melakukan komunikasi dan adaptasi dengan rekan kerja barulah diketahui sesampai di dunia kerja.

Setiap tahunnya angka pengangguran di Aceh terus meningkat dan tidak dibarengi dengan jumlah lapangan pekerjaan. Menurut data Badan Pusat Statistik Aceh, jumlah pengangguran di Aceh pada Februari 2018 mencapai 154 ribu orang. Angka ini meningkat hampir 4 ribu orang dibandingkan Bulan Agustus 2017 atau enam bulan sebelumnya yang masih ada di angka 150 ribu orang.

Kondisi pelik ini melanda Aceh, ada banyak sarjana terdidik yang harus menganggur, lapangan kerja yang sempit jadi salah satu faktor. Belum lagi kini telah memasuki Era Industri 4.0, ada banyak pekerjaan yang tergantikan dengan Artificial Intelligence (kecerdasan buatan). Seakan makin banyak pekerjaan konvensional yang dulunya begitu menjanjikan, harus hilang tergerus zaman.

Bahkan para buruh harus mengambil keputusan besar pada pekerjaan yang ia geluti selama ini. Semua itu dikarenakan banyak perusahaan yang mulai menggunakan AI sebagai ganti tugas mereka. AI tak pernah menuntut gaji, membutuhkan asuransi, jaminan keselamatan kerja hingga tunjangan lainnya seperti yang buruh lakukan.

Apalagi keterampilan para buruh yang biasa-biasa di era saat mulai tergantikan dengan AI atau para robot pabrik. Mereka para robot punya kelebihan seperti tak perlu waktu istirahat, tak pernah menuntut, dan paling penting minim kesalahan.

Sesuatu yang sulit dilakukan oleh para buruh atau kaum pekerja kelas bawah saat ini, walaupun kecerdasan buatan atau robot lebih mahal. Namun pemilik usaha menganggap cara ini lebih efisien dibandingkan menggaji para buruh sekaligus bentuk investasi jangka panjang.

Saya mencoba membawa sebuah cerita  unik di masa era industri pertama ada banyak pekerjaan aneh yang tidak terpikirkan oleh manusia modern saat ini. Kota Paris saat sebelum Perang Dunia Kedua terjadi, ada pekerjaan yang begitu digemari oleh pria paruh baya Kota Paris saat itu. Pekerjaan menjadi Fire Lamp (pemadam lampu jalan) di setiap sudut Kota Paris.

Tugasnya ialah memadamkan lampu saat pagi tiba dan menyalakan lampu kala malam di setiap sudut kota. Memang terdengar aneh untuk saat ini, namun saat itu begitu menjanjikan hingga tahun 50-an sebelum lampu LED ditemukan. Pekerjaan itu musnah saat penemuan lampu LED, manusia yang berharap mendapatkan penghasilan dari pekerjaan itu harus gigit jari. 

Itu juga sekarang terjadi makin banyak pekerjaan serupa yang mengalami nasib yang sama karena perubahan zaman. Pekerjaan yang saat ini mulai banyak tergantikan, misalnya saja pekerjaan yang saat digemari seperti tukang parkir, agen perjalanan hingga teller bank tergantikan di Industri 4.0 oleh kecerdasan buatan serta teknologi lainnya. Bagi manusia yang sulit beradaptasi akan menjadi korban kerasnya perubahan industri yang bisa mengancam pekerjaan idamannya.

Zaman yang merevolusi pekerjaan dan pola pikir manusia
“Zaman berubah dengan cepat dan siapa saja yang tidak siap akan
perubahan akan mati atau tertinggal”

Di era internet saat ini semua hal terkoneksi dengan internet dan manusia ingin mengembangkan era digital lebih ke arah berkembang. Mulai dari penerapan sistem Internet of Things (IoT), on Demand Service, e-Commerce, dan Financial Technology (Fintech).

Perkembangan itu seakan membuat manusia harus berinovasi lebih cepat. Bila dahulunya ingin memarkirkan kendaraan di lokasi parkir, dengan sigap ada tukang parkir yang mengaturnya. Peluit dan rompi khusus parkir jadi modalnya bekerja. Namun kini dengan kecerdasan buatan yang menggunakan konsep Internet of Things (IoT) seakan menghilangkan pekerjaan abang-abang parkir. Terganti oleh sistem e-parking yang terintegrasikan dengan AI saat masuk ke lokasi parkir.

Jasa tukang ojek pengkolan yang duduk di pinggir pos, menunggu hampir setengah hari tanpa mendapatkan satu penumpang pun. Lahirnya layanan on Demand Service seakan melahirkan transportasi online yang memudahkan driver dan penumpang. Baik itu fleksibel waktu dan tepat sasaran. Pihak pembuat layanan bisa saling melakukan sharing economy dengan abang ojek dengan harga terbaik.

Pemilik barang yang tidak memiliki uang untuk membeli atau menyewakan toko fisik tak perlu khawatir berdagang. Lahirlah sejumlah Marketplace yang mampu menyediakan lapak dan layanan retail. Para UMKM dan konsumen dipertemukan di dalam satu wadah besar bernama e-commerce dengan transaksi digital dari internet. Saling menguntungkan dan pastinya tanpa harus mengeluarkan modal.

Terakhir ialah revolusi mata uang dari yang dulunya berbentuk fisik menjadi ke arah digital. Tujuannya untuk memudahkan pengguna dalam transaksi dan rasa aman. Pengguna tak perlu takut lagi bepergian ke mana saja dengan uang banyak cukup dengan menempelkan ponselnya pada Q-Barcode di tempat ia belanja. Konsep itulah yang kini dikenal dengan Fintech yang lebih cashless.

Siapakah yang mampu bertahan?
Nasib pekerjaan manusia bisa terancam dari AI, robot pekerja, dan aplikasi yang serba praktis. Manusia yang bertahan adalah manusia yang mau kreatif dan berinovasi serta mengikuti arah zaman. Peran perkembangan teknologi sangat sulit dibendung oleh siapa pun, cepat atau lambat akan merevolusi sebuah sistem dan manusia di dalamnya.

Manusia-manusia yang paling tidak takut akan perubahan zaman adalah mereka yang kreatif. Model manusia ini tidak akan takut akan segala perubahan zaman, pekerjaan yang ia kerjakan akan selalu disesuaikan dengan fleksibilitas zaman. Tidak tertutup kemungkinan manusia harus bertransformasi dalam bidang pekerjaan yang tidak diprediksi sebelum.

Kreativitas dan inovasi dituntut menjadi salah satu kewajiban. Saya mencontohkan saat era web booming, Salah satu yang paling fenomenal adalah kemunculan mesin pencari salah satunya Google, menghadirkan pekerjaan yang tidak disangka manusia. Itu semakin berkembang dengan lahirnya era sosial media yang makin pesat hingga era Startup seperti sekarang ini.

Mungkin 10 tahun yang lalu tidak ada yang mengenal pekerjaan terdengar aneh seperti Blogger, Youtuber, Selebgram, Buzzer, atau bahkan Admin sosial media. Itu semua lahir berkat revolusi pekerjaan manusia yang semakin terintegrasi dengan teknologi. Mungkin saja di masa depan akan lebih banyak lagi pekerjaan aneh yang tidak pernah didengar sebelumnya.

Kemampuan khusus adalah salah satu cara bertahan hidup, maksud di sini yang membuat Anda berbeda dari orang lain. Pekerjaan itu tidak bisa digantikan atau bahkan tergerus oleh zaman sekalipun. Misalnya saja konten kreator atau penulis, pekerjaan model ini akan tetap ada hingga akhir zaman.

Kecerdasan buatan dan segala perubahan industri tidak akan bisa menggantikan sesuatu yang unik dan berbeda. Namun ia bisa menggantikan apa saja yang biasa manusia lakukan.

Ladang pekerjaan yang terbatas di Aceh
Membahas tentang iklim kerja di Aceh,  tergambar bagaimana lahan pekerjaan di Aceh sangat terbatas dalam hal industri, sentra jasa, dan UMKM. Berbanding terbalik dengan jumlah perguruan dan jebolan yang dihasilkan. Sedikitnya lahan pekerjaan bidang industri yang sesuai dengan lulusan membuat banyak lulusan tidak terserap dengan baik.

Pilihannya terbatas, bekerja di instansi pemerintah sebagai salah satunya. Seleksi tes yang sulit dan butuh relasi yang baik jadi salah satu kunci bisa berada di sana. Sedangkan anak muda yang terbatas kemampuan dan tidak mencukupi syarat harus berpangku tangan melemparkan lamarannya.

Pilihan yang sempit ini seakan menjadi alasan sejumlah lulusan terjun sebagai wirausaha. Modal yang besar dan pengalaman yang minim sering sekali menghambat proses tersebut. Satu sisi ini cukup baik, ada banyak anak muda yang mengambil cara tak bisa. mengembangkan bisnisnya.

Meskipun begitu para milenial Aceh mengambil cara lainnya dalam berkreasi dan berinovasi. Pesatnya kemajuan digital jadi salah satu alasannya, mendorong anak muda menghasilkan pundi-pundi uang dari dunia maya. Mencoba peruntungan baru menghadapi era industri yang makin berkembang ke arah teknologi.

Aceh dan potensi digital ekonomi yang menjanjikan
Meskipun terletak di paling Barat Indonesia, Aceh punya penetrasi internet yang sangat besar di daerah perkotaan. Kebutuhan internet dari para milenial seakan menjadikan Aceh lahan basah penetrasi internet.

Salah satu tempat yang disoroti adalah banyaknya kedai kopi, kebiasaan ngopi yang besar masyarakat Aceh melahirkan berbagai kedai kopi dan cafe. Salah satu menu wajib yang dihadirkan kedua usaha tersebut adalah koneksi internet selain menu yang mereka tawarkan.

Ada banyak kedai kopi yang bukan hanya menawarkan secangkir kopi dan kue timphan saja. Ia menawarkan internet yang begitu ngebut. Anak milenial pun menjadikan kedai kopi yang banyak tadi itu beraktivitas, segala aktivitasnya tadi terpenuh di internet. Peran besar internet di Era Industri 4.0 seakan begitu besar, sehingga ada banyak pekerjaan yang lahir dari situ.

Secara tak langsung ada banyak aktivitas digital yang terjadi, bukan hanya sebatas sosial media semata. Proses melibatkan berbagai pekerjaan digital bisa tertampung di kedai kopi, dibandingkan suasana sepi di rumah atau terlalu formal di perpustakaan. Kedai kopi jadi sebuah pilih aktivitas digital terjadi.

Tidak heran banyak anak muda yang memulai bisnisnya tanpa kantor. Bermodal dari kedai kopi mereka bisa bekerja. Pundi-pundi dolar mengalir deras melalui dompet digital mereka. Pilihan sebagai konten kreator yang mampu menghasilkan begitu banyak pemasukan. Tidak harus berpakaian rapi, mengejar waktu di pagi hari bergegas ke kantor.

Siapa yang tak mengenal pekerjaan kekinian yang digeluti para anak muda. Pekerjaan seperti Blogger, Selebgram, atau Youtuber. Pekerjaan pendulang pundi-pundi dolar yang tak sedikit nilainya. Itu semua bisa didapatkan saat sedang menyeruput segelas kopi.

Menilik bisnis menjanjikan ala anak milenial di era digital
Ada sejumlah bisnis yang milenial lihat saat ini, mereka punya cara pandang yang jauh berbeda dengan mereka melihat internet lebih dari segalanya. Perannya sebagai salah satu penyedia peluang kerja yang sangat besar.

Itu semua didukung dengan penetrasi pengguna internet Indonesia yang sangat besar di Asia Tenggara. Menurut data dari Databooks, ada sebanyak 132,7 jiwa atau mencapai 55% dari 265 juta pengguna internet di tanah air. Jumlah ini terus meningkat dari tahun ke tahun dengan membaiknya jumlah khususnya penetrasi ke kota-kota kecil.

Aceh termasuk di dalamnya khususnya Kota Banda Aceh layak dianggap dengan kota dengan jumlah pengguna internet terbesar di Aceh. Dukungan berbagai lokasi penyedia Wi-fi gratis yang tersebar mulai dari kedai kopi, kampus, hingga balai desa seakan memudahkan proses digital berlangsung.

Kemudian ada sekitar 71 juta pengguna menggunakan perangkat pintar dalam mengakses informasi dan sosial media. Mayoritasnya datang dari rentan usia yang sangat muda yakni usia 13 tahun hingga 18 tahun yang hampir 75,5% pengguna internet di tanah air serta golongan usia 19-34 tahun menyusul di bawahnya. Rentan usia ini generasi milenial dan mereka menganggap koneksi internet bukan hanya sebatas sosial media dan mendapatkan informasi, tetapi lahan pekerjaan yang menjanjikan.

Ada sejumlah pekerjaan yang dikembangkan para milenial dan peluang ini kini sedang dirajut dengan sangat baik oleh anak-anak muda Aceh. Mereka punya cara berbeda dalam sudut pandang mereka, kemampuannya dalam membaca pasar relatif berbeda dengan generasi sebelumnya. Sadar bahwa ada banyak pekerjaan yang tergantikan dengan kecerdasan buatan.

Anak muda sadar ada sebuah potensi yang sangat sulit digantikan, yaitu kemampuan kreatif dan inovatif menghasilkan karya. Dibandingkan harus nganggur tidak jelas mereka memanfaatkan segala sumberdaya teknologi seperti gawai miliknya dan koneksi internet untuk berbisnis.

Misalnya saja di era digital ada banyak platform yang bisa menunjang dalam berkarya. Mungkin saja menulis karya-karya terbaik di Blog, menghasilkan video di channel Youtube, meramu nada-nada musik menjadi hal yang berharga hak patennya. Hingga menjadi selegram dari foto-foto nge-hits yang kekinian di Instagram.

Itu hanya sebagian kecil pekerjaan yang  bisa dipilih para milenial di era digital saat. Ada banyak pekerjaan lainnya yang bisa dikembangkan. Apalagi pemerintah Indonesia sedang mempersiapkan diri sebagai kekuatan ekonomi digital terbesar di Asia Tenggara di tahun 2020.

Pemerintah pun kini sudah mempersiapkan berbagai hal dalam membangun fondasi ekonomi digital yang baik. Sedikit ada empat fondasi yang sangat diperhatikan pemerintah: seperti pembangunan infrastruktur telekomunikasi, penerapan konsep e-business, memiliki e-commerce yang bersaing, dan peran besar UMKM lokal.

Memberdayakan para pelaku UMKM Aceh ke arah digital
UMKM punya peran penting ada hampir 60% dari sektor ekonomi rata-rata Produk Domestik Bruto (PBD) tanah air berasal darinya. Di Indonesia saat ini ada sebanyak 58 juta UMKM di tanah air dan bila ekonomi mereka bisa berlipat ganda, ini akan sangat baik buat ekonomi bangsa.

Salah satu cara yang dilakukan  pemerintah ialah mendukung UMKM terjun di bisnis ekonomi digital. Untuk masalah produktivitas dan kreativitas, UMKM sudah cukup andal di bidangnya. Kini tinggal bagaimana membuat mereka masuk dalam industri e-commerce.

Menurut data dari Dinas Perdagangan dan Perindustrian Aceh, pada tahun 2016 terdapat sebanyak 75.207 UMKM di Aceh. Jumlahnya meningkat drastis dibandingkan dengan dua tahun sebelumnya yang hanya 48.882 UMKM. Bisa dipastikan di tahun 2018 angka mencapai 100 ribu UMKM.

Angka yang besar ini sebagian besar lahir dari para lulusan kampus ternama yang ada di Aceh. Memulai usaha melalui UMKM dinilai menjanjikan sebagai salah satu cara menghasilkan pundi-pundi penghasilan hingga mendapatkan pekerjaan yang layak.

UMKM yang lahir semakin beragam ini hadir karena persaingan yang ketat seperti yang ada di Banda Aceh. Variasi dan kreasi adalah buktinya, membangun UMKM bukan sebuah pelarian tapi bentuk kreativitas yang dimanfaatkan milenial Aceh.

Bila dahulunya hanya mengandalkan aplikasi chatting seperti Whatsapp dan Facebook. Kini para pelaku UMKM beranjak ke konsep aplikasi pada e-commerce. Pastinya ini seakan menghilangkan kesenjangan sosial yang ada serta memberikan kesempatan UMKM mendapatkan tempat lebih di e-commerce, peran keduanya tidak bisa dipisahkan.

Berkembangnya pasar e-commerce seakan mendatangkan berbagai pekerjaan baru yang belum ada sebelumnya. Mungkin dahulunya untuk memulai usaha dibutuhkan modal yang besar, misalnya saja ingin berdagang diharuskan memiliki toko fisik, izin usaha, hingga biaya lain yang begitu besar.

Kini dengan adanya e-commerce, para pelaku usaha yang datang dari UMKM bisa merintis kariernya dengan mudah. Mereka hanya cukup membuat akun untuk mempromosikan barang dagangnya. Biayanya gratis kecuali bagi yang ingin membayar lapak premium, meskipun begitu biaya relatif kecil dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan dengan berdagang secara offline.

Dukungan pada penuh e-commerce tanah air
Menjamurnya e-commerce milik lokal membuktikan Indonesia sudah berbicara banyak di pasar e-commerce. Saat ini ada sejumlah startup tanah air yang pendanaan hingga US$ 1 Miliar dan sudah masuk dalam jajaran startup Unicorn. 

Nama-nama tenar seperti Go-Jek, Traveloka, Tokopedia, dan Bukalapak menghiasi pemberitaan dunia akan dahsyatnya e-commerce milik anak negeri. Kini tinggal menunggu ada banyak startup baru buatan anak muda Aceh yang siap bersaing dan mengisi lini digital lainnya menggebrak.

Sudah pasti masyarakat yang diuntungkan dengan pertumbuhan bisnis online yang begitu pesat. Masyarakat Indonesia akan mendapatkan manfaat positif dalam perekonomian seperti pertumbuhan kesejahteraan, pertumbuhan lapangan kerja baru dan lain-lain. Indonesia tidak lagi sekadar menjadi target pasar bisnis internasional, tetapi sebaliknya dapat menjadi pengusaha e-commerce yang mumpuni hingga menjangkau pasar luar negeri.

Anak Aceh dan kreativitas di dunia startup
Kata siapa startup hanya ada di kota-kota besar di Indonesia?

Aceh pun tidak mau kalah dalam berkreasi di dunia digital. Ada banyak startup khas Aceh yang siap bersaing dan melawan gempuran keras startup mapan nasional. Mereka menawarkan berbagai solusi yang ada di masyarakat dan punya potensi besar jadi startup besar di masa depan.

Sebut saja ada startup e-barang yang menawarkan konsep retail online dari berbagai kategori barang dengan keamanan serta kenyaman buat pelanggannya. Kemudian ada startup member toko yang memberikan kemudahan para konsumen yang ingin berbelanja berbagai produk dan lokasi promosi para pelaku usaha lokal.

Startup Visit Aceh yang menawarkan berbagai lokasi wisata, penginapan, dam hotel yang ada di Aceh. Memudahkan para wisatawan lokal dan mancanegara dalam merasa sensasi liburan terbaik saat berkunjung ke Aceh. Hal yang hampir serupa yang diberikan pada startup Traverious selaku penyedia jasa tour dalam dan luar negeri.

Beberapa waktu yang lalu, Jurusan Statistika Universitas Syiah Kuala melaksanakan seminar sebagai rangkaian acara tahunan Jurusan Statistika yaitu "Statistics Explore" dengan tema: Pemuda dan Peran Big Data dalam Menghadapi Era Revolusi Industri 4.0. Salah satu pemateri yang kami undang sebagai pemateri adalah salah seorang anak muda milenial bernama Aslan Saputra.

Aslan salah anak muda kreatif yang berhasil merintis bisnis startup-nya bersama istrinya. Berbekal kemampuan coding dan pemograman saat masih masa kuliah dahulu. Ia berhasil merintis startup bernama Gumugu yang siap bersaing di Era Industri 4.0 dan Big Data.

Menawarkan layanan web development, mobile development, visual branding, dan animasi film. Banyak pihak yang sudah percaya dan menjadi klien dari startupnya, mulai dari Baitul Mal Aceh, Elex Media Komputindo, Ikatan Dokter Indonesia, Unsyiah, hingga Pertamina.

Anak-anak muda Aceh pun tak perlu lagi kesulitan menyalurkan idenya, pelatihan di dunia digital seperti startup dan Big Data sudah mulai ada. Salah satu pilihan itu datang dari gedung serba guna bernama DiLo (Digital Innovation Lounge).

Konsep gedungnya seperti coworking space yang menerima siapa saja belajar berbagai ilmu coding, proses dan pendanaan startup hingga pengembangan aplikasi mobile sehingga mampu bersaing di era digital.

Kini senyum ceria anak muda Aceh merekah, mereka tidak perlu lagi takut tidak mendapatkan pekerjaan. Bangun pagi pertama setelah hari wisuda bukan kenyataan buruk, mereka sudah siap menentukan masa depannya. Merintis karier di dunia digital yang menjanjikan tanpa harus berharap banyak bekerja di instansi pemerintah lagi.

Tulisan ini diikutsertakan pada Lomba Menulis Artikel Gedung Bank Indonesia Provinsi Aceh. Memperingati 100 tahun Gedung Bank Indonesia Provinsi Aceh.

You May Also Like

3 komentar

  1. terimakasih ya informasinya :)


    ada Tips menggunakan KJP nih, silahkan coba deh supaya kita lebih cerdas dalam menggunakan KJP nya, selamat mencoba yaa :)

    BalasHapus
  2. Titanium Wood Stoves in Slant, Glaze - TITSALIAN ART
    › wood-stoves › wood-stoves titanium bikes for sale In the damascus titanium first gold titanium of the series, he was able to find an easy-to-use, easy-to-use wood stove, designed by titanium bracelet Robert A. Brown can titanium rings be resized for all his work on a wood car.

    BalasHapus